BECAUSE OF YOU

“Bosan rasanya mencintai seseorang tanpa balas dicintai…” Aku mengakhiri postingan statusku dijejaring sosial facebook. Lantas menaruh kepalaku yang terasa berat pada sandaran kursi warnet. Hidupku selalu begini. Merasa galau galau galau dan galau. Sebagai seorang remaja 17 tahun yang masih terbilang muda, gejolak dalam dada ku sering kali berdisir karena sering timbul rasa kesepian. Iri juga melihat banyak pasangan yang terlihat mesra tiap kali menjumpai mereka dibeberapa sudut remang-remang. Kata banyak orang, manusia sepertiku pantas diberi julukan ‘sakit’ . Jujur saja aku memang penyuka sesama jenis. Entah sejak kapan kelainan ini kuderita, tapi yang jelas aku langsung kagum tiap kali melihat para cowok yang wajahnya lebih oke dari aku. Sebenarnya aku tidak terima untuk mengakui pada diri sendiri bahwa aku seorang gay. Meski itu menjadikan ku sangat munafik. Aku seorang laki-laki tidak normal yang berusaha menjaga aibku. Sikap ku biasa saja kepada semua orang. Tidak terlalu terbuka dan tidak terlalu tertutup. Perawakanku yang tinggi, esay going, ditunjang oleh wajah cool membuatku jauh dari rahasia besar yang mungkin akan ku simpan seumur hidup. Hari itu aku menghabiskan siang hari sepulang sekolah dengan pergi ke warnet. Kebetulan ambil paket 2 jam yang sekarang ini masih tersisa 1 jam. Tapi aku sudah tidak berminat berselancar ke dunia maya karena pengetahuanku tentang situs2 bisa dikatakan terbatas. Disisi lain aku juga akan rugi kalau membuang uang siasia. Kedua mataku sudah mulai capek dan memerah harus memplototi layar komputer. Apalagi warnetnya kurang disinari cahaya. Lampu yang tergantung cuma satu itupun di tengah ruangan. Sesekali aku menguap. Tak jarang pula aku mencuri dengar obrolan mas mas tukang jaga warnet yang menurutku lumayan jorok. Aku hanya bisa tertawa kecil dalam hati. Sampai kemudian secara samar aku mendengar langkah kaki yang terkesan buru2 memasuki ruangan warnet. Sempat berpikir mungkin ada gempa. Tapi tidak ada seorang pun yang beranjak keluar. Aku cuek saja. Hingga mendadak aku kaget melihat sosok cowok yang mukanya tertutup tudung jaket membelok di bilik ku. Aku bengong karena aku sama sekali tidak kenal dia. Aku tambah terkejut saat dia tiba- tiba berkata… “Minggir! Tolongin gue plis. Gue bakal mampus klo sampe ketauan” Aku seperti orang bodoh karena tidak tahu apa yang dia bicarakan. Dia malah nyelonong masuk ke dalam bilik ku. Merunduk lalu berjalan jongkok sampai seluruh tubuhnya tertutupi meja komputer dan CPU. Baru aku tahu apa masalahnya setelah kira- kira lima menit kemudian, 2 orang pria dewasa berseragam dinas muncul. Mereka tampak geram sambil sesekali melirik beberapa bilik warnet. Mencari cari sesuatu. Wajar saja aku gugup Aku mengambil tindakan ekstra cepat dengan merapatkan diri untuk menutupi sosok yang berlindung dibawahku. Salah satu dari pria tadi sempat melihat ke arahku. Syukurlah karena keadaan gelap, jadi sedikit menguntungkan. Mereka menanyai mas penjaga warnet. Tapi lagi2 keajaiban muncul sebab masnya tidak melihat ada orang masuk karena terlalu asyik mengobrol. Dua pria tadi terpaksa keluar dengan muka kesal. Aku cemas menunggu kejadian apa yang akan terjadi selanjutnya. Cowok itu keluar dari persembunyian setelah selang waktu 2 menit. Wajahnya masih tertutupi tapi aku bisa mendengar nafasnya yang berat. Dia bebas, dan aku telah menyelamatkan orang yang bersalah. Dia mendongak menatapku. Mata kami bertemu. “Trims bro. . Lu udah nyelametin gue. ” Aku mengangguk. Masih tertegun. Lalu dia berkata lagi untuk menjelaskan semuanya. “Sori ngrepotin. Gue bolos . Yang tadi itu pasti Pak Yusuf sama Pak Jarot. Bisa mampus gue kalo sampe ketangkep. ” Benar apa yang kupikirkan tadi. Cowok ini pasti bermasalah. Sekarang terbukti, dia bolos sekolah. Aku sedikit bingung, sebab saat ini jam sekolah sudah usai. Sekolahku saja sudah pulang dari tadi. Tapi seperti tahu jalan pikiranku, dia menarik resleting jaketnya perlahan. Tahulah aku kalau dia anak Teknik Multimedia setelah melihat seragamnya, yang jam sekolahnya memang siang sampai sore. Dia memandangiku terus. Tampak tersinggung mungkin karena tidak ada respon apapun dari mulutku. “Nama lo siapa?” dia bertanya. Suaranya berubah tenang. “Gerry.” “Gue Satria. Lo sekolah dimana? Kelas berapa?” dia kembali bertanya. “SMA 43. Kelas XI. ” Kami terlibat obrolan singkat. Satria bersekolah di SMK 07, tidak jauh dari warnet ini. Dia bercerita membolos karena merasa muak dengan sekolahnya. Dengan pelajaran dan dengan guru-gurunya. Dia juga duduk di kelas XI. Umurnya berselisih satu tahun denganku. Selama bercerita aku lebih sering menjadi pendengar tapi beberapa kali juga memberi komentar. Dari penilaianku yang sekilas Satria bukan tipe anak yang nakal . Dia hanya memiliki motivasi sekolah yang rendah. Dia selalu berbicara apa adanya. Tidak ada yang sengaja dilebih lebihkan. Aku berkali kali tersenyum melihatnya bercerita. “Sori ya ganggu. Tapi kayaknya Pak Yusuf masih ada didepan. Terusin aja ngenetnya. Nanti klo udahan, bangunin gue deh. ” Benar benar anak satu ini.. Aku geleng2 melihatnya bersandar pada tembok pembatas bilik. Apa lagi kalau bukan tidur? Satria terlelap begitu cepat. Kulirik billing ku. Masih tersisa 30 menit lagi. Waktu yang sangat singkat untuk membangunkan orang yang keliatan capek. Sedangkan aku, aku tidak tahan juga sekedar iseng mencuri pandang tiap beberapa saat. Rupanya tudung jaket yang menutupi mukanya terbuka saat dia tidur. Aku mengamati wajahnya sejenak. Baru sadar kalau anak ini dianugerahi wajah yang tampan. Kulit wajah yang mulus tanpa banyak jerawat. Hidung mancung, potongan rambut rapih, alis yang mencuat, dan sepasang kelopak mata yang serasi. Aneh sekali mengetahui laki-laki sekeren dia ternyata membolos sekolah. Lama aku menatap lukisan indah Tuhan itu lekat2. Seketika itu juga jantungku berpacu lebih cepat. Perasaanku menjadi tidak karuan hanya dengan menyaksikan orang asing yang sedang terjaga. Tidak. . Tidak Gerry. Jangan memikirkan yang bukan2, bisik ku dalam hati. Sebuah ide muncul. Aku langsung melesat keluar meninggalkan Satria bersama komputer yang masih menyala. Kuhampiri mas penjaga dan buru2 memesan mie instan serta es teh padanya. Tidak lupa aku memintanya memperpanjang billingku sampai 30 menit. Tentu saja semua itu aku lakukan untuk Satria. Padahal dalam hati heran sendiri kenapa bisa orang yang kadang pelit sepertiku bisa menghamburkan uang dalam jumlah lumayan banyak. Rencanaku sudah selesai. Kuambil kunci sepeda motor ku di samping komputer. Sempat kupandangi kembali raut wajah Satria yang kurang jelas pada jarak pandang lebih jauh karena bilik yang gelap. Dia masih tertidur. Bahkan ada dengkur kecil yang terdengar disetiap hembusan napasnya. Aku bergegas pulang, setelah sebelumnya membayar tanggungan ku. Serta uang tip kecil untuk si penjaga warnet karena telah kuminta dia membangunkan Satria jika billing sudah habis dan makanan yang kupesan datang. ******* “Ger!” Bahu ku ditepuk dari belakang. Membuat ku menoleh mencari tahu siapa pelakunya. Sungguh aku pasti lupa, kalau tidak melihat motif jaket yang sama dengan saat pertama kali kami bertemu. Aku hampir melupakan Satria. Sejak kejadian di warnet sebulan lalu, aku belum pernah berjumpa lagi denganya. Lantaran kesibukan intern ku disekolah menyebabkan aku jarang menghabiskan waktu diwarnet. Dia beranjak duduk di sebelahku. Kami tidak sengaja bertemu pada suatu sore di lapangan Nusa Dua yang kebetulan sedang ramai dikunjungi orang dikarenakan ada festival layang2 lokal. Satria memakai T-shirt kasual bewarna putih yang menurutku serasi dengan kulitnya yang bersih, bercelana pendek dan memakai sendal. Lucunya aku baru sadar kalau dia punya barisan kumis tipis yang menghiasi ruang antara hidung dan bibirnya. Manis sekali. “Suka layangan?” Satria membuka pembicaraan. “Gak terlalu. Cuman suka liat aja” aku heran kenapa dia tidak coba mengetes apakah aku masih mengingatnya atau tidak. Kepercayaan dirinya besar sekali. “Lo licik ya?” Satria tersenyum tipis. Aku tidak mengerti apa maksudnya berkata begitu. “Baru kenal udah…. ” Omonganya berhenti. Perhatian semua orang tertuju pada anak kecil yang hampir terbawa terbang oleh layangan miliknya yang ukuranya besar sekali. Begitupun Satria. Pengalihan ini membuatku merasa ketakutan. Jangan2 Satria tahu lagi kalau aku curi 2 pandang padanya? Waduh bisa mampus aku kali ini. “Udah berani nglanggar titah. Kenapa operatornya yang bangunin gue? Pake acara naruh makan siang segala. Kan jadi curiga situ mau ngeracunin gue” Aku tertawa lepas saking leganya. Ini anak pinter ngebanyol juga rupanya. Jadi pengen jitak kepalanya deh. . “Jadi maunya apa? Bayar ganti jasa?” ucapku menantang. “yaelah. Itu mah namanya rejeki. Kalau rejeki ya g boleh ditolak!!” Aku jadi tertawa terus. Anak ini emang bener2 enak diajakin ngobrol. “Masih sering bolos Sat?” “Kadang sih klo lagi bete” jawabnya enteng. Dia mahir sekali menggonta ganti emosi orang. “G sayang sama duitnya apa?” “Bodo. Yg bayar kan ortu, bukan gue. ” Hembusan angin mempermainkan ujung rambutku. Nyaman sekali rasanya. Kami berhenti bicara cukup lama. Masing masing sibuk memperhatikan gerakan layang2 berbagai bentuk dan warna meliuk liuk di udara. Aku coba merenungkan kalimat terakhir Satria. Nadanya, emosinya, sikapnya.. Mama bilang kebahagiaan orang tua terletak ketika mereka melihat anaknya belajar di sekolah dengan tekun. Dan bukanya ilmu itu didapat untuk disebarkan? “Percaya cita-cita ?” ucapku pelan tanpa menoleh sedikit pun. “Tentu. Kenapa?” “Munafik banget klo bilang cita-cita itu gak berawal dari sekolah. Akui aja klo kita emang butuh. Masa depan itu gak terakit sendiri dengan cuma main kucing kucingan sama guru” Seorang bapak menghampiri anak kecil yang gemetar ketakutan karena hampir hilang terseret angin. Dia tampak menenangkan putranya. Aku pura2 berkosentrasi pada rakitan kertas di atas sana . Sementara aku tahu betul Satria memandangiku tanpa ekspresi. Aku tidak pernah tahu apa makna yang tersirat di dalamnya. Tapi saat kami bertemu kembali nanti, aku tahu hal itu membuat hubungan kami lebih akrab. ******* Kami berdua, Satria dan aku, bisa dibilang menjalin pertemanan hasil takdir Tuhan. Kami sering bertemu, secara sengaja maupun tidak. Satria selalu muncul dengan dandananya yang serba sederhana, terlihat duduk tiap kali festival layang2 dirayakan hampir rutin per minggunya. Aku pun juga ada disana. Sampai merasa sangat bodoh karena kami tidak pernah saling tahu sebelumnya. Memang benar, masing masing dari kami mempunyai tempat favorit tersendiri. Tempat favoritku rumput landai di bukit kecil dekat lapangan, sedang Satria menyukai areal teduh di bawah pohon beringin tua. Tapi dia selalu menemaniku duduk di atas semak hampir pada semua momen dimana kami berjumpa. Satria punya banyak cerita untuk dibagikan dan aku selalu senang mendengar suaranya yang khas. Aku tahu dia cowok normal. Pacar Satria bernama Nana, kelas X, adik kelasnya sendiri. Hatiku tergetar saat menangkap kesan khusus yang menyiratkan bahwa Satria amat mencintai Nana. Dia memuja muja gadis yang belum pernah kulihat itu. Berkata Nana adalah cewek paling manis yang ada di sekolahnya, makanya dia beruntung bisa jadi pacarnya. Ada yang salah dalam diriku. Dadaku seolah tertusuk bilah berkali-kali . Aku ingin sekali menyumpal kedua telingaku setelah mengetahui ruang kosong dalam hati Satria telah diisi oleh Nana. Tapi aku harus cepat sadar. Aku seorang teman. Sedikit berlebihan, tapi Satria bilang aku adalah teman yang sangat baik. Aku harus segera puas dengan itu. Teman tidak boleh merusak kebahagiaan kawanya. Dari awal kutegaskan bahwa sebenarnya dunia kami berdua berbeda. Sangat berbeda. Berusaha sekuat tenaga menarik Satria ke dalam dunia itu hanya akan menghancurkan semuanya. Kutatap lekat Satria. Dia sedang mengulang momen indah ketika dia menyatakan cinta pada Nana, dan tak sadar aku tengah memandangi cowok ini untuk yang entah keberapa kalinya. Aku tertegun sejenak. Udara panas yang tidak kelihatan mulai membuat hangat paru paruku. Aku tahu tidak mungkin bagiku untuk melihatnya terus. Aku harus menoleh sesekali. Tapi aku mengalami ketakutan hebat, sebab saat pelupuk mataku tidak lagi menangkap raut wajah tampan yang berseri-seri itu, aku tidak dapat menyangkal kalau aku menyukainya. Cinta oh cinta… Kenapa rasanya sungguh menyiksa Cintaku sudah ada di depan mata Tapi sayang sekali aku tidak mampu meraihnya Saat indah itu kembali terulang. Aku dipertemukan kembali dengan Satria pada event festival besar layang2 lokal yang dihadiri para fanatik layangan dari berbagai kota bahkan ada pula yang datang jauh2 dari luar negeri. Sayangnya aku harus kecewa karena tempat duduk istimewa ku sudah penuh sesak oleh orang orang. Oh ya, Satria membawa layangan besar berbentuk ikan pari hasil buatanya sendiri. Aku sampai kagum dibuatnya. Layangan kepunyaanya tidak kalah bagus bila dibandingkan dengan layang2 di toko yang harga jualnya lumayan mahal. Yang membuatku makin senang adalah karena dia membubuhkan inisial ‘S. G’ tepat di tengah layanganya. Inisial nama kami. Satria mengajak ku bersandar di bawah naungan pohon beringin besar sebagai alternatif terakhir yang masih kosong. Layang layangnya mengudara tinggi sekali. Meliuk liuk menakjubkan di udara bebas . Kami memegang senarnya bergantian sambil menikmati senja yang indah bersama sama. Semenjak tadi detak jantungku menolak bekerja normal. Aku berkali kali tidak kosentrasi pada percakapan Satria karena sibuk mengatur perasaan ku sendiri. Sepertinya dia sedikit curiga…. “Mikirin sesuatu?” “Gak” jawabku singkat padat jelas. “Kangen sama seseorang?” Kali ini aku cumin bisa menggeleng pasrah. Untung sekarang adalah tugasku memegangi senar layangan. Jadi kau punya alasan untuk tidak menatap bola mata Satria yang menusuk. “Bilang aja klo lo punya masalah.” Tuhan… Bagaimana ini? Aku hampir tidak tahan untuk berterus terang dan menumpahkan seluruh isi hatiku padanya. Aku ingin Satria tahu kalo aku suka padanya. Aku ingin sekali menyandarkan kepalaku di bahunya. Aku ingin bermesraan denganya. Aku ingin menggantikan posisi Nana. Kenapa? Kenapa Tuhan? Kini aku tersiksa dengan kecamuk cinta yang kau ciptakan lewat orang yang salah . Aku berdoa kepadamu Tuhan. Tapi tidak pernah berharap akan berakhir seperti ini… “Cuman…” suaraku tercekat. Otak ku disibukkan dengan keberanianku yang selalu timbul tenggelam. Please. . aku sangat tahu konsekuensinya. “mikirin masa depan” Bodoh! Bodoh sekali! Bagaimana aku bisa bilang begitu sama Satria??? Apa yg sudah ku pikirkan? “ngapain?” Dia menoleh. Sulit dijabarkan namun saat dua bola mata kami bertemu, ku rasakan getaran hebat yang menyuruhku lebih mendekat. Satria… baru aku sadar dia begitu tampan. Aku menyukai kumisnya juga tatapan matanya yang teduh. Dia seolah memaksaku supaya aku mau berterus terang. Sejujurnya Satria selalu menganggapku sahabat yang sangat baik sejak kami berbincang pertama kali di lapangan. Anggapanya belum pernah berubah sampai sekarang. Aku terjebak dalam posisi yang sebenarnya berkali lipat lebih baik dari hubunganku dengan banyak orang sebelumnya. Itu memberi kesan bahwa aku tamak. Karena keegoisanku menuntutku melakukan sesuatu di luar batas aturan. “Satria aku.. aku.. ” Satria memotong. “Lu bakal jadi orang tua yang baik, gue yakin.” Dia tersenyum manis. Tubuhku seperti bisa lumer setiap saat. Seketika mulutku terkunci rapat. “Gue juga akan berusaha jadi ayah yang baik. Gue udah janji sama diri gw sendiri. Lu tau Ger? Gue sering ngerasa kesepian di rumah. Orang tua gw gak ada yg pernah peduli seupil pun sama gw. Mangkanya gw seneng bisa punya pacar kayak Nana, dan merasa beruntung banget ada teman kayak lu. Gw bersumpah bakal jadi ayah yang baik ntar, kalo gue bisa nikahin Nana dan akan sayang sama anak gue kelak. Karena cuman itu yang bisa buat gue bahagia” Satria mengalungkan lenganya di leherku. Ada rona kebahagiaan yang jelas terpancar pada wajahnya ketika dia masih menatapku. Dia pasti berpikir aku adalah orang yang betul2 baik sekali padanya. Tiba tiba aku menjadi muak terhadap diriku sendiri. Terlebih terhadap sikap egoisku yang nyaris meluluh lantakan semuanya. Aku takut membayangkan apa yang terjadi seandainya detik tadi, jika Satria tidak terlebih dahulu menyelaku, besar kemungkinan dia akan menganggapku menjijikkan karena telah menyatakan cinta kepadanya. Sebuah cinta terlarang dan ikrar mustahil yang tidak akan pernah mungkin kami ucap berdua. Aku telah berharap terlampau jauh. Mimpi mimpi yang menentramkan hatiku setiap malam mendadak rasanya sangat sulit diraih. Ku berkata pada diriku sendiri ini sudah cukup. Biarlah menjadi rahasiaku saja. Akan kupendam bersama perasaanku kepada Satria yang bagai punguk merindukan bulan. Aku memberanikan diri menjatuhkan kepalaku dan bertumpu di atas bahunya yang kekar. Kami menghabiskan sisa sore kami yang indah. Detik itu juga kubuang jauh jauh bagian dalam diriku yang masih mendambakan balas cinta dari Satria. ******* Satria putus. Dia putus dengan Nana. Jujur aku shock. Kami belum berjumpa semenjak festival lokal minggu lalu. Aku begitu kaget sampai hampir tersedak makanan. Dia menelponku siang bolong membawa berita buruk yang langsung membuat ku merasa amat prihatin. Kukira ini tidak adil. Aku sudah terbiasa menganggap mereka berdua pasangan paling serasi di dunia sekarang, meskipun aku belum mendapat kesempatan bertemu langsung dengan Nana. “Gue putus, Ger. Nana ketauan selingkuh sama Jamal. Bayangin! Jamal. Temen gw sendiri!” “Bukanya kamu masih sayang ama dia Sat? Gak ada jalan lain apa?” “Gue paling benci sama orang yang berkhianat” Suara khasnya yang kalem, yang lembut, yang menenangkan kini berubah serak dan kacau. Satria patah hati dan ajaibnya rasa sakitnya berpengaruh juga kepadaku. Dia terbata bata melalui telepon genggamnya seperti orang linglung. Sebisa mungkin aku menenangkanya. Mengatakan semua pasti berjalan baik baik saja. Siapa pernah tahu kalau dalam hati diam2 aku mengutuk Nana? Menyumpahinya dengan sumpah serapah kotor karena telah melukai hati sahabatku. Tapi itu belum ada apa-apanya dibanding Satria. Dia mogok bersekolah selama berhari hari. Yang membuatku tambah sedih adalah karena sikapnya berubah. Bukan lagi Satria yang aku kenal selama ini. Bukan lagi Satria yang kocak, Satria yang selalu tersenyum manis, Satria yang selalu bergaya bicara apa adanya, Satria yang kuat seperti namanya. Dia mengurung diri setiap hari. Lantas membuatku sangat prihatin dengan kondisi emosionalnya yang berubah tidak stabil. Kalau mau sedikit berterus terang, aku menikmati keadaan ini karena aku sangat dibutuhkan dalam fase mengisi kekosongan setelah Nana pergi dari hidupnya. Aku sering menghiburnya, lewat SMS ataupun telepon. Aku sering mengingatkanya untuk makan, mandi, memberi motivasi, dan serangkaian hal yang bisa membikin dia nyaman. Suatu hari Satria memintaku datang ke rumahnya. Tidak kusangka dia anak orang kaya, yang tidak mendapat kasih sayang cukup oleh kedua orangtuanya. Rumahnya besar sekali tapi sepi. Aku menghampirinya di balkon rumah yang menghadap langit malam. Aku tertegun mendapati fisik Satria yang berubah drastis. Badanya kurus. Matanya yang jenaka berubah sendu dan kulit wajahnya pucat dan kusut . Suaranya bergetar tiap kali mengucap kata. Kala itu Satria duduk berdua denganku sambil dirinya memeluk gitar akustik tua. Aku mengangguk pelan saat dia menoleh. Kubiarkan dia melepas derita hatinya dengan melantunkan sebuah lagu. Suaranya sungguh indah, membuatku terbuai keadaan. Selayaknya engkau tahu Betapa ku mencintaimu Kau terangkanku dari mimpi burukku Selayaknya kau mengerti Betapa engkau ku kagumi Kau telah tinggal ke dalam palung hati Kau tuliskan cerita Tentang engkau dan dia Membuat hatiku semakin terluka Sudah usai sudah Cerita engkau dan aku Kuanggap sebagai bingkisan kalbu… . Lantunannya berkahir sudah. Aku dihadapkan dengan pemandangan yang sekonyong membuat hatiku pilu. Satria berhenti lalu menunduk. Raut mukanya tertekuk tanpa ekspresi. Aku sudah tahu apa yang terjadi tanpa harus diberitahu. Aku ragu sejenak, namun segera kutepis perasaanku yang sama hancurnya dengan Satria. Aku mendekat, merangkul pundaknya, dan ikut menangis diam2 atas nama persahabatan. Suasana membaik beberapa hari ke depan. Aku bersyukur setelah Satria mau masuk sekolah kembali dan kondisi mentalnya sudah jauh lebih stabil. Tentu saja kami makin dekat sejak saat itu. Entahlah. Aku sudah berbeda dengan yang dulu. Aku mempunyai dasar pemikiran yang matang dan dewasa. Kami dekat, sebagaimana dua sahabat. Selamanya pun kukira akan seperti itu. Aku tengah berbaring malas-malasan siang itu. Sepasang headset menutupi kedua telingaku dengan alunan lagu metal rock yang menggebrak jantung. Aku terlena dengan keadaan Satria yang semakin baik. Jadi hari2 ku dijalani dengan riang gembira. Tapi tiba 2 musik berhenti, digantikan bunyi nada SMS. Kugeser tombol tombolnya, dan kutemukan nama Satria tertera jelas di bagian layar. ‘Main kesini dong Ger. Bisa benahin komputer gue ga?’ Hmm.. aku tidak mahir soal komputer sih. Tapi kalau buat ketemu Satria kenapa kagak? Hehe. Segera tanpa menunggu aba aba aku beranjak bangun dari tempat tidurku menuju garasi depan untuk mengambil motor . Kustater, kupacu secepat mungkin. Aku punya firasat aneh akan terjadi sesuatu yang diluar dugaan kali ini. ******* “Apanya sih yang rusak?” Aku kebingungan mengutak atik komputer milik Satria di dalam kamarnya yang mewah. Memang kuakui ilmu teknologiku lumayan minim, tapi aku bisa kok membedakan mana komputer yang rusak dan mana yang tidak. Aku sudah menscan beberapa kali. Hasilnya tidak terdeteksi satu virus pun. Kujelajahi drive C, drive D, sampai drive E, namun tidak juga kutemukan ada kerusakan software yang berarti. Jadi dimana letak kesalahanya? “Udah lu periksa aja dulu. Tunggu bentar gue lagi ganti baju” Satria tereak2 dari kamar mandi pribadinya. Meninggalkanku sendiri dalam keadaan kebingungan karena ulahnya. “Cepetan!!!” Hehe. Akhirnya Satria tidak tahan juga untuk keluar. Aku terlanjur berkosentrasi pada layar komputer sehingga tidak menoleh saat Satria berjalan keluar. Aku asyik menjelajahi dokumen fotonya yang sebagian besar potret dirinya bersama Nana dan teman temanya yang lain. Dari situ aku tahu kalau Nana memang cewek yang sangat cantik. Tak heran klo dulu Satria susah banget mau ngelupainnya. Aneh juga rasanya karena tak ada satupun momen bersama keluarga yang sempat diabadikan. Aku menyerah. Komputernya memang betulan bersih dan kondisinya prima. Kututup langsung beberapa window yang terbuka ketika ku cium wangi semerbak dari arah belakang. “Komputermu gak sakit Sat, malahan…” “Ah masa sih……” Deg! Firasatku tentang kejadian tidak terduga sepertinya tepat sekali. Aku tidak tahu apakah aku sedang bermimpi atau berfantasi. Tapi mendadak indra penciumanku bekerja secara cepat mengendus bau maskulin pas di belakangku. Naluriku membuncah cepat. Dapat kunikmati sebuah pelukan lembut yang mendekap tubuhku dengan spontan. Jantungku rasanya berdentum tidak karuan. Satria memelukku mesra. Tanganya melingkari tubuhku. Kulitnya yang kekar bersih menempel di bagian dadaku. Dia mengenakan kaos oblong dan menyemprotkan parfum yang memabukkan pada seluruh permukaan tubuhnya. Libidoku naik. Sebagai penyuka sesama jenis aku mungkin sudah sangat terangsang jika tidak shock atas perbuatan Satria yang di luar dugaan. “Sathhh… apa yang mmhh kau lakukan?” Satria tidak menggubris pernyataanku. Mulutnya mulai mencupang leherku yang mulus. Jari-jarinya meremasi putingku secara bersamaan. Aku seakan melayang jauh menuju surga. Aku tidak tahan untuk tidak mendesah keenakan. Semua ini bagaikan aliran listrik 1000 volt yang terus mengaliri sekujur badanku. Mengetes sejauh mana aku bisa bertahan. “Mestinya sejak dulu gue bisa gini sama lu, Ger. Gue udah gak mau dikecewain sama cewek. Sakit banget rasanya. Gue baru sadar gw punya temen kayak lu yg sayang sama gue, yg care dan perhatian, yg slalu ada saat gw butuh. Gue baru sadar gw suka sama lo.” Perasaanku bagaikan petir disiang bolong. Aku terombang ambing oleh dilema. Antara pasrah dan membuka seluruh tabir rahasiaku, atau mencoba berpura pura ini semua hanyalah kesalahan. Sulit berpikir jernih dalam keadaan terangsang begini. Dan kemudian suara2 menggema di dalam kepalaku. Dekat sekali…… “Gw bersumpah bakal jadi ayah yang baik…. Karena Cuma itu yang bisa buat gue bahagia” Karena Cuma itu yang bisa buat gue bahagia Cuma itu… Cuma itu… Itu… Itu… Plak! Kutepis pelukan Satria yang main mengerat. Dia kaget melihat perubahan sikapku dan tidak mengira aku akan seperti ini. Aku menyelinap keluar kamarnya dan dia berusaha mengejarku dari belakang. Mukaku merah padam dengan segala jenis emosi yang campur aduk. Aku sampai di garasi tempatku memarkir motor. Satria datang menghadang. Tanganya mencengkram kuat tangan ku. “ Ger. . kupikir……” Ayolah.. ayo Gerry kau pasti bisa. Ayo lakukan “GUE NORMAL SAT!!” aku menjerit kencang. Dadaku bergemuruh. Ada sepuluh belati yang menghujam jantung ku bersamaan. “Asal lo tau, gue care sama lo semata karena kita sahabat. Gue sayang sama lo karena kita sahabat. Gue bakal hancur klo lo sampek kayak gini. Ayo dong Sat, cewek di dunia ini gak Cuma Nana doang! Cari yang laen. Jangan jadi sakit gara2 hal cemen kayak gini!!” Stop. Kumohon aku bisa pingsan kalo terus terusan begini. Tanpa memperdulikan Satria yang bengong, kupacu motorku. Melesat pulang. ******* Kran air panas mengucur. Meleleh hangat seperti derai air mataku yang enggan berhenti. Aku memeluk pinggiran bath up, menangis dalam diam. Hatiku remuk. Remuk berkeping keping sampai tiada satu hal pun yang bisa menggabungkanya kembali. Aku terus memikirkan Satria begitu kakiku menjejak dalam rumah. Mama ku sampai heran kenapa aku bisa jadi seemosional ini. Tapi memang beginilah keadaan ku. Buruk sekali. Aku merasa bodoh. Bodoh karena menolak uluran tangan Satria menuju sesuatu yang kudamba seumur hidupku. Dicintai. Satria mungkin cowok paling sempurna yang pernah singgah dalam hidupku. Sejujurnya memikirkan dia dimiliki oleh orang lain merupakan bayangan paling menyakitkan. Aku bisa berkata ‘ya’ tadi. Dan aku pasti akan menjelma menjadi manusia paling bahagia di dunia. Tetapi aku sadar, 3 bulan bersama Satria membuatku belajar bahwa egois tidak pernah dibutuhkan. Aku mengerti impian terbesar Satria adalah memiliki keluarga sehingga dia bisa memberi kasih sayangnya pada buah hatinya kelak, hal yang tidak dapat kuberikan kalau kami menjalani hubungan ini. Biarlah kucari pujaan hatiku yang lain. Pujaan hati yang tidak mengemban tugas mulia seperti Satria. Karena itu akan membuatku lebih tenang. Sesuatu dalam celanaku bergetar. Aku beranjak memungut ponsel dalam lipatan celanaku yang tergantung. Tertera 1 pesan baru……. Maafin gue ya Ger. Gw khilaf tadi. Kuharap hubungan pertemanan kita masih sebaik dulu. I Love U, Satria. Hatiku kembali remuk.


source by: tommylovezacky

2 comments:

tinggalkan jejak dengan komentar